HADITS PERTAMA MELURUSKAN NIAT

MELURUSKAN NIAT

Oleh : M. Bahruddin Thohir
Santri Ma’had Nurul Haromain

Pendahuluan
حامدا لله تبارك وتعالى ومصليا ومسلما على رسول الله محمد ابن عبد الله وعلى أله وصحبه ومن تبعهم بإحسان الى يوم الدين. أما بعد
Ini adalah sedikit ulasan terkait dengan kitab Abina KH. M. Ihya’ Ulumiddin yang bernama “Jalaul Afkar Min Kalami Sayyidil Basyar Shallallahu Alaihi Wasallam” yakni kitab yang berisi kumpulan 42 hadits pilihan yang telah beliau kemas dalam satu buku kecil dan berbobot yang terkait dengan pendidikan islam dan wasiat keimanan yang sangat dibutuhkan oleh seorang muslim untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan akhir seperti sekarang ini. Semoga ulasan singkat ini bermanfaat.
Hadits Pertama
Meluruskan Niat

Ketika kita mengerjakan sesuatu misalnya berpergian dari suatu tempat menuju tempat lain, biasanya ada sesuatu yang terbesit dalam hati yang itu menjadi landasan kita melakukan bepergian. Sesuatu yang menjadi landasan utama tersebut adalah yang disebut dengan niat. Pergi ke kamar mandi tentu ada niat, pergi ke pasar, ke Mushalla, ke Sekolah dan kemanapun pasti tidak lepas dari pada pengaruh niat. Bahkan ketika tidak sedang berpergian kemanapun kita juga bisa berniat. Sehingga semua kegiatan kita baik yang berat maupun ringan tidak terlepas sedikitpun dari pada niat. Itulah mengapa niat mempunyai posisi besar dalam agama. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ تعالى عنْهُ قَالَ: َقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّة، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَتزوجهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ(
Dari Umar Bi Al Khattab Ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya amal hanyalah dengan niat. Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhirjah karena dunia yang akan didapatkannya atau karena wanita iyang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada tujuan hijrahnya”
Para ulama telah sepakat bahwa hadits ini mempunyai posisi besar dalam Islam, banyak manfaat dan tentu validasi hadits tersebut dari Rasulullah saw.  Imam Syafii Ra berkata : hadits ini adalah sepertiga Islam, ada 70 bab fiqih yang bisa masuk dalam cakupan hadits ini. Ulama lainnya berkata : Hadits tersebut adalah 25% dari agama Islam. Abd. Rahman al Mahdi menganjurkan bahwa bagi siapapun yang hendak menulis sebuah buku hendaknya ia memulai babnya dengan hadits ini sebagai pengingat agar dalam menulisnya hanya bertujuan untuk mendapatkan Ridha Allah semata. Bahkan Imam Hadits, yakni al Bukhari sendiri telah memulai kitab monumentalnya dengan hadits ini dan menyebutkannya kembali pada tujuh tempat yang berbeda
Pembahasan
Dari hadits tersebut mari kita kupas,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan hanyalah dengan niat”
Ada dua kaidah yang bisa diambil dari potongan hadits tersebut:
Niat sebagai penentu sah dan sempurna amal
Mengenai Kata إِنَّمَا pada hadits di atas, para ulama bahasa Arab, Ushul Fiqh dan fan lainnya telah sepakat bahwa kata tersebut berfaidah hashr atau meringkas, yakni amal diringkas pada niat. Sehingga maknanya : amal perbuatan apapun, baik itu ucapan atau tindakan tidak akan dianggap kecuali jika disertai dengan niat.
Imam Syafii berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “dianggap” adalah dianggap sah. Sehingga menurut beliau jika anda melakukan ibadah namun tidak anda sertakan dengan niat, maka ibadah anda tidak sah, maka anda wajib mengulang lagi ibadah tersebut. Sementara Imam Hanafi berpendapat : “dianggap sempurna” sehingga pada kasus yang sama, amal ibadah anda akan tetap sah sekalipun tidak disertai niat, hanya saja amal anda kurang sempurna.
Niat sebagai pembeda status.
Maksudnya adalah status amal, karena niat adalah penentu, maka niat juga berfungsi sebagai pembeda status sebuah amalan yang sama. Contoh, ketika anda mengerjakan shalat dua rakaat, maka shalat anda  bisa jadi adalah shalat Shubuh dan bisa jadi shalat Sunnah, niat lah yang akan membedakan status shalat tersebut.

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.
Potongan hadits berikutnya ini lebih menjelaskan pentingnya niat tersebut. Yakni karena niat adalah sebagai penentu dan pembeda, maka apa yang akan didapatkan oleh seseorang adalah sesuai dengan yang diniatkannya.
Ketika anda mengerjakan shalat dua rakaat, maka anda akan mendapatkan sesuai dengan niat anda. Jika anda berniat shalat Shubuh, maka dua rakaat tersebut hanya berpahala Shalat shubuh. Jika anda tambah lagi dengan niat shalat tahiyyat al masjid, maka pahala anda adalah shalat Shubuh plus tahiyyat al Masjid dan jika anda tambah lagi dengan shalat hajat, maka pahala anda adalah shalat shubuh plus tahiyyat al masjid plus keutamaan shalat hajat, dan bahkan jika anda melihat ada orang yang shalat mengikuti anda di belakang dan saat itu anda niatkan menjadi imam, maka pahalanya berlipat menjadi 27 kali. Apa yang akan didapat adalah bergantung niatnya.
Ketika anda mengerjakan shalat tersebut, anda berniat agar dilihat orang sebagai ahli Ibadah, maka yang anda dapatkan hanyalah niat tersebut (itupun jika berhasil), dan pahala di sisi Allah menjadi hangus. Bahkan bisa jadi ketika anda berbaring sakit di rumah, anda bisa mendapatkan catatan kebaikan yang berlipat ganda karena saat anda sakit tersebut anda berniat kebaikan, “andai saja aku tidak sakit, maka aku akan melakukan ini dan itu”, sekalipun yang anda bayangkan tersebut hanya sekedar bayangan, anda pasti akan mendapatkan pahala sesuai dengan bayangan anda, selama niat itu benar (yakni bukan niat yang sekedar di buat-buat)
Itulah mengapa Abi Ihya’ Ulumiddin pernah berkata “Keto’e ndunyani ning ngakhiroti, kato’e ngakhiroti ning ndunyani” “nampaknya urusan dunia namun statusnya akhirat, nampaknya urusan akhirat namun statusnya dunia” maksudnya, amal perbuatan duniawi seperti berdagang, mencuci pakaian, bahkan tidur bisa menjadi ladang pahala akhirat ketika mengerjakannya disertai dengan niat akhirat. Seperti “aku berniat berdagang ini untuk mencari rizki halal seperti yang diperintahkan Allah; agar tidak menjadi peminta; untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak”. “Aku berniat dalam mencuci pakaian ini agar bisa menggunakan pakaian secara bersih dan sah untuk mengerjakan shalat; dan juga untuk menutup aurat”. “Aku berniat dalam tidur ini untuk istirahat agar nanti malam bisa bangun tahjjud”. Dan sebaliknya, disebabkan oleh niat yang salah, maka amal akhirat bisa berubah status menjadi amalan duniawi. Contoh ketika anda mengerjakan shalat dua rakaat agar dikira orang bahwa anda adalah Seorang ahli shalat. Anda bersedekah agar dilihat orang sebagi seorang dermawan dan lain sebaginya.
Ada tiga orang kelak di akhirat yang pertama kali akan dihisab, yaitu seorang mujahid yang mati di medan perang, seorang yang rajin sedekah dan seorang lagi pembaca Al-Qur’an, namun ironisnya, mereka semua  masuk neraka. Mengapa? Karena salah dalam niat. Mari kita simak keterangan berikut ini.
Abu Hurairah ra meriwayatkan, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘’Manusia yang pertama diadili pada hari Kiamat nanti adalah orang yang mati di medan jihad. Orang itu didatangkan di hadapan Allah. Kemudian ditunjukkan kepadanya segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Dan, ia mengakuinya.
Allah bertanya kepadanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’’ Ia menjawab, ‘’Aku telah berperang membela agama-Mu.’’ Lalu, Allah berkata, ‘’Engkau berbohong. Engkau berperang agar orang-orang menyebutmu seorang pemberani.’’ Kemudian, Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di pengadilan-Nya. Akhirnya, orang itu dimasukkan ke neraka.
Kemudian, seorang penuntut ilmu sekaligus rajin membaca Al Qur’an (santri, Ustadz, Kyai, Ulama’), dihadapkan kepada Allah. Lalu, ditunjukkan kepadanya segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Dan, ia mengakuinya. Allah bertanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’’ Dia menjawab, ‘’Aku menuntut ilmu, mengamalkannya dan aku membaca Al Qur’an dengan mengharap ridho-Mu.’’ Allah berkata kepadanya, ‘’Engkau berbohong. Engkau mencari ilmu supaya orang menyebut engkau sebagai seorang alim. Dan, engkau membaca Al Qur’an agar orang lain menyebutmu rajin membaca Al Qur’an.’’ Kemudian, Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di pengadilan-Nya. Akhirnya, orang itu dimasukkan ke neraka.
Selanjutnya, seorang kaya raya dan terkenal dermawan, dihadapkan kepada Allah. Lalu, ditunjukkan kepadanya segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya. Dan, ia mengakuinya. Allah bertanya, ‘’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’’ Ia menjawab, ‘’tidak ada satu jalan ibadah yang engkau anjurkan untuk berinfaq didalamnya, kecuali aku telah berinfaq semata-mata karena-Mu.’’ Lalu, Allah berkata, ‘’Engkau berbohong. Engkau melakukan itu agar orang-orang menyebut engkau sebagai dermawan dan murah hati.’’ Kemudian Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di pengadilan-Nya. Akhirnya, orang itu dimasukkan ke neraka. Naudz Billah
Subhanallah! Padahal bukankah mati syahid itu sangat besar pahala dan kedudukannya di sisi Allah Swt? Akan tetapi pahala yang besar itu tidak akan pernah ada jika ternyata orang tersebut salah niat. Tidak fokus dalam niatnya. Betapa rugi sekali orang seperti ini.
Seorang pencari ilmu yang sudah memiliki gelar berderet-deret, pekerjaan yang mentereng dengan gaji yang besar. Namun, ternyata untuk semua hal-hal duniawi itulah dia mencari ilmu. Bukan demi ridho Allah. Demi sanjungan dan penghargaan dari manusia yang memandangnya sebagai orang berilmu. Maka, sia-sialah semua itu di hadapan Allah Swt.
Seorang pembaca Al Qur’an yang rajin tilawah dan merdu suaranya, namun ternyata bukan ridho Allah yang dikejarnya meski yang keluar dari lisannya adalah bacaan ayat-ayat Al Qur’an. Ia mengejar decak kagum dari manusia yang menyebutnya sebagai seorang qori atau qoriah. Ia mengejar sertifikat, piala dan hadiah-hadiah dari lomba-lomba pembacaan Al Qur’an. Maka, semua yang diperbuatnya menjadi percuma di hadapan Allah Swt.
Termasuk juga orang yang bergerak dalam dunia dakwah. Bisa jadi yang ada di dalam hatinya adalah harapan agar dipandang oleh orang sebagai seorang dai. Yang ada dalam pikirannya adalah angka-angka berapa honor yang akan ia terima. Tidak ada Allah di hatinya, meski yang ia sampaikan adalah ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw.
Seorang yang gemar mendermakan hartanya, namun bukan penialian Allah yang ia harapkan, maka ia telah tersesat dalam niatnya. Apa yang ia harapkan adalah kekaguman orang lain yang memandangnya sebagai seorang dermawan. Apa yang ia harapkan adalah sorotan dan jepretan kamera wartawan yang akan memberitakan perihal kegiatannya membagi-bagi sebagian dari hartanya. “Kelihatannya urusan akhirat, namun statusnya urusan dunia”
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya adalah kepada Allah Rasulnya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang didapatkannya, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada tujuan hijrahnya
Potongan hadits ini, adalah dalam rangka untuk menegaskan potongan hadits sebelumnya, bahwa niat itu menentukan, dan pa yang didapatkan seseorang adalah sesuai niatnya. Jika ada orang berhijrah bertujuan untuk Hijrah karena Allah dan Rasulnya, maka pahalanya adalah hijrah kepada Allah dan rasulnya, tapi jika niat hijrahnya tersebut adalah agar mendapatkan harta ataukerena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada tujuan hijrahnya tersebut. Dua orang yang sama-sama berhijrah namun hasil pahala yang didapatkan berbeda karena beda niat.
Potongan hadits ini juga mengajarkan kepada kita tentang pentingnya tahrirun niyyah atau meluruskan niat sebelum mengerjakan ibadah, yakni kegiatan menata niat untuk memastikan diri bahwa ibadah yang akan dikerjakan tersebut adalah murni karena Allah, bukan yang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan du acara: pertama, sebelum beramal berhenti sejenak, merenung dan memantabkan niatnya. Dan kedua, pada saat melakukan kebaikan muncul semangat gembira, maka ia  berhenti sejenak, memastika bahwa gembira dan semangat tersebut adalah karena Allah bukan yang lain. Jika hijrah saja, ibadah yang sangat berat masih bisa berubah menjadi amal duniawi karena salah niat, apalagi ibadah yang lain.
Allah berfirman : Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata (karena) menjalankan agama (QS. Al Bayyinah (98): 6)

Penutup
Sebagai penutup, Abina pernah menyampaikan bahwa sebenarnya kita sebagai manusia ini jika sadar tentang pentingnya meluruskan niat, maka seluruh waktu kita selama 24 jam sangat berpotensi bernilai ibadah, sekalipun itu berupa amalan mubah, seperti makan, mencuci, bahkan tidur. Allah berfirman ‘’Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (QS. Adz Dzariyat (51):56). Jelas sekali ayat ini menegaskan bahwa kehidupan jin dan manusia adalah ibadah, berpotensi menjadi ibadah, apapun kegiatan itu asalkan disertai dengan niat yang baik.
Dalam kaidah fiqih disebutkan “dengan niatan yang baik, kegiatan rutinitas bisa menjadi ibadah”
Kita bermohon kepada Allah, Semoga kita diberikan kesadaran dan kesempatan agar senantiasa bisa menata niat kita dalam kegiatan rutinitas kita terlebih kegiatan ibadah agar bisa meniatkan hanya semata-mata karena Allah ta’ala. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadits Kesembilan Mengusahakan Sesuatu dengan Jalan Maksiat

HADITS KE DUA Arwah adalah Bala Tentara