Hadits Ketiga belas Rasa Malu


Hadits Ketiga belas
Rasa Malu


عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو اْلأَنْصَارِي الْبَدْرِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ r:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى, إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْت

Dari Abu Masud Uqbah bin Amar al Anshari al Badri t. Ia berkata : Nabi r bersabda:
(Sesungguhnya diantara ajaran diperoleh manusia dari sejak kenabian permulaan adalah; jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu)
HR. Al Bukhari 6120

Arti Kalimat

Malu dalam bahasa Arab disebut al-haya atau secara etimologi adalah masdar dari hayiya - yahya - hayah yang berarti hidup. Orang tangguh dalam hidupnya dipastikan memiliki sifat malu disebabkan kemampuan dirinya dalam mengatahui hal-hal yang buruk. Selain dari ketangguhannya tersebut, sifat malu juga dapat berasal dari kekuatan panca indera seorang manusia dan kelembutannya. Pengertian secara etimologi ini menjelaskan sifat haya yang memiliki fungsi mendorong manusia menjadi manusia yang paripurna dan utuh. Sementara manusia yang tidak memilki sifat haya, ia akan menjadi manusia yang hampa seakan-akan ruh yang pada dirinya dicabut Allah dan akhirnya mati tak berarti.
Malu secara bahasa juga dapat diartikan alimtina yang berari menahan atau mencegah dan al-Inqibad yang berati menutup diri.  Oleh karena itu, manusia yang memiliki sifat malu adalah manusia yang mampu menahan dan menutup diri dari hal-hal yang akan mendatangkan aib pada dirinya
Secara terminologi, malu didefinisikan oleh ulama dengan beberapa pengertaian. Antara lain:
1.       Malu adalah keadaan manusia yang penyebabnya berasal dari kehawatiran terungkap suatu aib pada dirinya dan cacian.
2.       Malu adalah salah satu akhlak yang dapat memdorong manusia menjauhi perkataan dan perbuatan yang buruk dan mencegah diri dari sikap acuh terhadap hak orang lain.
3.       Malu adalah menjauhi keburukan akibat dari kekhawatiran akan mendapat cacian orang lain
4.       Malu adalah kewaspadaan yang menyebabkan manusia menutup diri dari segala karena cacian orang lain.
5.       Malu adalah sesuatu yang tertanam pada jiwa yang mengakibatkan manusia menunaikan segala tugas, menjalian silturahim dan berbakti kepada orang tua.
6.       Malu adalah suatu sifat yang maknanya sama dengan waqar (kehati-hatian) dan menjaga diri dari mengatakan sesuatu yang dapat mempermalukan orang lain
7.       Malu adalah melihat nikmat yang diberikan Allah swt dan menyadari kekurangan diri.

Dari pengertian secara terminologi, kedudukan sifat malu pada manusia sangat diperlukan. Manusia  dalam kehidupannya memerlukan batasan-batasan yang mengatur tingkah lakunya dalam berhubungan secara vertikal dengan Allah Taala dan berhubungan secara horizontal dengan sesama makhluk. Pada prinsipnya manusia hendaknya mengenal posisinya sebagai makhluk ciptaan Allah Taala dan  sekutu makhluk lainnya. Maka dengan sifat malu, manausia akan selalu takut melakaukan hal-hal yang merugikan dirinya karena kesalahannya kepada Allah Taala dan kesalahan kepada sesama manusia lainnya.


Makna Hadits

Sesungguhnya Diantara Ajaran Diperoleh Manusia Dari Sejak Kenabian Permulaan
Almunawi dalam Faidhul Qadirnya berkata, maksudnya adalah diantara syariat yag sama sejak Nabi pertama sampai Nabi terakhir adalah ajaran sifat malu. Sejak Nabi pertama Nabi Adam, ajaran sifat malu ini sudah ditetapkan dan tidak di revisi oleh nabi-nabi setelahnya sampai juga pada Nabi terakhir yakni syariat Nabi Muhammad .  Semua Nabi mengajarkan dan memerintahkannya. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran sifat malu adalah bersumber dari wahyu dan menjadi keketapan dalam semua syariat.[1]

Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu. Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yang besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.

Sebagai tambahan, Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Dalam Kaidah ilmu Ushul Fiqh, Syariat sebelum Islam atau syariat yang dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi tiga:[2]
1.       Ajaran nabi terdahulu dan Islam menetapkan yang dibenarkan oleh syariat Islam, maka ajaran ini juga menjadi ajaran bagi Islam dan kita wajib taat. Seperti Perintah puasa dan juga ajaran tentang sifat malu ini.   
2.       Ajaran yang dibatalkan, di naskh atau revisi oleh syariat Islam, maka ajaran ini tidak berlaku lagi. Seperti cara bertaubat dengan bunuh diri. Ketika akaian terkena najis, cara mensucikannya adalah dengan memotongnya, dan lain-lain sebagaimana yang ditulis oleh Abuya Muhammad al Maliki dalam kitabnya Khashais Al Umah Al Muhammadiah.
3.       Ajaran yang tidak diketahui ditetapkan atau direvisi oleh syariat Islam, maka disini terdapat khilaf dikalangan ulama. Seperti yang termaktub dalam Surat Al Maidah ayat 32, 45 dan syariat lainny yang senada.
“Jika tidak malu, lakukanlah sesukamu”
Para ulama mengatakan bahwa perkataan ini ada dua makna :
Pertama, Kalimat tersebut bermakna perintah dan perintah ini bermakna mubah. Maknanya adalah jika perbuatan tersebut tidak membuatmu malu, maka lakukanlah sesukamu, itu boleh. Maka makna pertama ini kembali pada hukum perbuatan.

Kedua,Kalimat tersebut bukanlah bermakna perintah. Para ulama memiliki dua tinjauan dalam perkataan kedua ini:[3]

1.       Kalimat perintah tersebut bermakna ancaman. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu, (ini maksudnya ancaman), karena kamu pasti akan dibalas. Hal ini sebagaimana firman Allah Taala,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Lakukanlah sesukamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.” (QS. Fushilat: 40).

Maksud ayat ini bukanlah perintah agar kita melakukan sesuka kita termasuk perkara maksiat. Namun, ayat ini adalah ancaman: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, lakukanlah sesukamu. Pasti engkau akan mendapatkan akibatnya. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.

2.       Kalimat perintah tersebut bermakna berita. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka kamu akan melakukan apapun yang kamu sukai. penghalangmu untuk melakukan kejelekan adalah rasa malu. Jadi bagi siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka dia akan terjerumus dalam kejelekan dan kemungkaran. Dan yang menghalangi hal semacam ini adalah rasa malu. Kalimat semacam ini juga terdapat dalam hadits Nabi yang mutawatir,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no 110 dan Muslim no 3).
Artinya orang yang berdusta atas Nama Nabi, berarti ia sedang menyiapkan tempat dirinya di neraka.
Azzamakhsyari berkata : Hadits ini memberikan isyarat bahwa hal yang bisa mencegah seseorang dari terjatuh melakukan keburukan adalah sifat malu. Jika ia tidak memakai sifat tersebut, maka dia akan menjadi seperti sedang diperintah untuk mengerjakan keburukan.

Macam-Macam Malu

Dalam Kitab Akhlaq Lilbanin, Sayyid Umar bin Ahmad Baraja menyebutkan bahwa Malu dibagi tiga macam:[4]
Pertama, malu kepada Allah. Jika seseorang malu kepada Allah, ia akan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan sungguh-sungguh rasa malu. Kemudian nabi ditanya, “Bagaimana caranya malu kepada Allah?” Dijawab, “Siapa yang menjaga kepala dan isinya, perut dan makanannya, meninggalkan kesenangan dunia, dan mengingat mati, maka dia sungguh telah memiliki rasa malu kepada Allah Swt.” Malu seperti inilah yang akan melahirkan buah keimanan dan ketakwaan.

Kedua, malu kepada manusia. Jika seseorang memiliki rasa malu kepada manusia, maka ia akan menjaga pandangan yang tidak halal untuk dilihat. Seorang ahli hikmah pernah ditanya tentang orang fasik. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang tidak menjaga pandangannya, suka mengintip aurat tetangganya dari balik pintu rumahnya.” Orang yang punya rasa malu kepada manusia tidak akan berani melakukan dosa di hadapan orang lain. Jangankan dosa, melakukan kebiasaan jeleknya saja dia malu jika ada orang yang melihatnya.

Termasuk bagian dari malu kepada manusia adalah mengutamakan orang yang lebih mulia darinya, Menghargai ulama dan orang saleh, Memuliakan orangtua dan gurunya, Merendahkan diri di hadapan mereka. Orang yang masih punya rasa malu kepada orang lain akan dihargai dan disegani, dan  masyarakat mau mendengarkan pendapat dan nasihatnya.

Ketiga, malu kepada diri sendiri. Ketika orang punya malu kepada dirinya sendiri, dia tidak akan melakukan perbuatan dosa ketika sendirian. Ia malu jika ada orang yang melihat perbuatannya. Dalam kalimat hikmah dikatakan, “Siapa yang melakukan perbuatan ketika sendirian yang ia malu melakukannya saat dilihat orang, maka ia tidak berhak mendapatkan kemulian.” Kalimat hikmah yang lain mengatakan, “Hendaknya malu kepada diri sendiri lebih besar dibanding malu kepada orang lain.”
Rasulullah adalah figur yang sempurna dalam akhlak malu. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ketika sedang duduk bersama sahabatnya. Pada suatu hari beliau lewat dan berpapasan dengan orang yang sedang mandi. Lalu beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah maha hidup, maha lembut, dan maha menutupi. Allah cinta pada rasa malu dan menutup diri. Jika kalian mandi maka lindungilah diri kalian dari pandangan orang.”

Sayyidah Aisyah ra. adalah putri yang sangat pemalu dan menjaga kehormatan dirinya. Suatu saat beliau pernah bercerita, “Ketika aku masuk ke rumahku yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah (suamiku) dan ayahku Abu Bakar, aku menampakkan sebagian auratku, dalam hati aku berkata, “Sesungguhnya aku sedang berada di kuburan suamiku dan ayahku.” Akan tetapi, ketika Umar bin Khattab meninggal dan makamkan di samping suami dan ayahku, aku tidak pernah menampakkan auratku lagi, karena malu kepada Umar.” Bisa dibayangkan akhlak malu yang dimiliki Sayyidah Aisyah, hingga kepada orang sudah berada di dalam kubur.

Inilah tiga macam malu yang dianjurkan. Selanjutnya kita hindari sifat malu yang dilarang. Yaitu malu ketika akan melakukan kebaikan, malu ketika membela ajaran Islam, malu berkata jujur, malu mengingkari kemungkaran dan membela kebenaran. Orang yang malu dalam kebaikan tidak akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya.
والله يتولى الجميع برعايته


الحياء
وهو انقباض النفس عن القبائح وعن التَّفريط فى حقّ صاحب الحقّ. وقال ذو النُّون: الحياء وجود الهَيْبة فى القلب مع وحشة ممّا سبق منك إِلى ربّك، والحبّ يُنطق. والحياءُ يُسْكت، والخوف يُقلق.
MALU
Adalah terkekangnya diri dari melakukan keburukan dan teledor dalam menunaikan kewajiban. Dzun Nun berkata : Malu adalah bentuk wujudnya rasa segan dan takut dalam hati seseorang serta
وقد قُسم الحياء على عشرة أَوجه: حياء جنايةٍ وحياء تقصير، وحياء إِجلال، وحياء كَرَم، وحياء حِشْمَةٍ، وحياء (استقصار النَّفس) ، وحياء محبّة، وحياء عبوديّة، وحياء شرف وعزَّةٍ، وحياء المستحى من نفسِه.
فأَمّا حياء الجناية فمنه حياء آدم لما فرّ هارباً فى الجنَّة، قال الله تعالى: إِفراراً منِّى يا آدم؟! قال: لا يا ربّ بل حياءً منك. وحياء التقصير كحياءِ الملائكة الَّذين يسبّحون اللَّيل والنَّهار لا يفترون، فإِذا كان يوم القيامة قالوا: سبحانك ما عبدناك حقّ عبادتك. وحياءُ الإِجلال هو حياء المعرفة، وعلى حسب معرفة العبد بربّه يكون حياؤه منه. وحياءُ الكرم كحياءِ النبىّ ﷺ من القوم الَّذين دعاهم إِلى وليمة زَيْنَبَ وطوَّلوا عنده فقام واستحى أَن يقول لهم: انصرِفوا. وحياء الحِشْمَةِ كحياءِ على بن أَبى طالب أَن يسأَل رسول الله ﷺ عن المَذْى لمكان ابنته. وحياء الاستحقار واستصغار النفس كحياءِ العبد من ربّه حين يسأَله حوائجه احتقاراً لشأْن نفسه واستصغاراً لها.
وأَمّا حياءُ المحبة فحياءُ المحبِّ من محبوبه، حتَّى إِنَّه إِذا خطر على قلبه فى حال غيبته هاج الحياءُ فى قلبه وظهر أَثرُه فى وجهه ولا يدرى ما سببه. وكذلك يعرض للمحِبّ عند ملاقاة محبوبه ومناجاته له روعةٌ شديدة. ومنه قولهم جمال رائع. وسبب هذا الحياء والرّوعة ممّا لا يعرفه أَكثر الناس. ولا ريب أَنَّ للمحبّة سلطاناً قاهراً للقلب أَعظم من سلطان مَن يقهر البدن، فأَين من يقهر قلبك وروحك ممّن يقهر بدنك؟! ولذلك تعجّبت الملوك والجبابرة من قهرهم للخلق وقهر المحبوب لهم. فإِذا فاجأَ المحبوبُ محبَّه ورآه بغتة أَحسّ القلبُ بهجوم سلطانه فاعتراه رَوْعة وخوفٌ.
وأَمّا حياءُ العبوديَّة فهو ممتزِج من حُبٍّ وخوف ومشاهدة عدم صلاحية عبوديّته لمعبوده، وأَنَّ قَدْره أَعلى وأَجلّ منها، فعبوديته له توجب استحياءَه منه لا محالة.
وأَمّا حَياءُ الشَّرف والعِزَّة فحياءُ النَّفْسِ العَظيمة الكبيرة إِذا صدر منه ما هو دون قَدْرها من بَذْل أَو إِعطاءٍ أَو إِحسان، فإِنَّه يستخرج مع بذله حياء وشرف نفس وعزَّة. وهذا له سببان: أَحدهما هذا، والثانى استحياءُه من الآخذ، حتَّى إِنَّ بعض الكُرماءِ يستحى من خَجْلة الآخذ.
وأَمّا حياءُ المؤمن من نفسه فهو حياءُ النفوس الشَّريفة العزيزة من رضاها لنفسه بالنَّقص وقنعها بالدُّون، فيجد نفسه مستحيياً مِن نفسه حتَّى كأَنَّه له نَفْسان تستحى إِحداهما من الأُخرى، وهذا أَكمل ما يكون من الحياءِ، فإِنَّ العبد إِذا استحيا من نفسه فهو بأَن يستحى من غيره أَجدر. وقال يحيى بن مُعاذ رحمه الله: من استحى من الله مطيعا استحى الله منه وهو مذنب. وهذا الكلام يحتاج إِلى شرح، ومعناه أَنَّ من غلب عليه خُلُق الحياءِ من الله حتَّى فى حال طاعتة فقلبه مطرق من بين يديه إِطراق مستحْى خَجِل، فإِنَّه إِذا واقع ذنبا استحى الله عزَّ وجلّ مِن نظره إِليه فى تلك الحالة لكرامته عليه فيستحى أَن يرى مِن وَليّه وَمَنْ يكرُم عليه ما يَشينه. وفى الشاهد [ما يشهد] بذلك، فإِن الرّجل إِذا اطَّلع على أَخصّ النَّاس به وأَحبّهم إِليه من صاحب أَو ولدٍ أَو حبيبٍ وهو يخونه فإِنَّه يلحقه من ذلك الاطِّلاع حياءٌ عجيب حتَّى كأَنَّه هو الجانى، وهذا غاية الكرم. وقد قيل: إِنَّ سبب هذا الحياء أَنَّه يمثِّل نفسه الجانى فيلحقه الحياءُ كما إِذا شاهد الرّجل مَن أحصِر على المنبر عن الكلام فيلحقه الحياءُ فإِنَّه يَخْجل تمثيلاً لنفسه تلك الحالة.
وأَمّا حياءُ الربّ - تبارك وتعالى - من عبده فنوع آخر لا تدركه الأَوهام ولا تكيّفه العقول، فإِنَّه حياءُ كرمٍ وبرٍّ وجُودٍ، فإِنَّه خير كريم يَستحى من عبْده إِذا رَفَعَ إِليه يديه أَن يردَّهما صِفراً، ويستحى أَن يعذّب ذا شَيْبة شابت فى الإِسلام. وكان يحيى بن معاذ يقول: سبحان من يذنب عبْدُه ويستحى هو.
واختلف العلماءُ فى الحياءِ ممّا ذا يتولَّد. فقيل: من تعظيمٍ منوط بودّ. وقال الجُنَيد: يتولَّد من مشاهدة النِّعم ورؤية التَّقصير. وقيل: يتولَّد من شعور القلب بما يُستَحى منه وشدّة نُفْرته عنه فيتولَّد من هذا الشعور والنفرة حالة تسمّى الحياءُ. ولا تَنَافِىَ بين هذه الأَقوال، لأَنَّ للحياءِ عدّةَ أَسباب، كلّ أَشار إِلى بعضها.



[1] Faidhul Qadir Juz 2 Hal. 540
[2] Di sarikan dari kitab Ilmu Ushulil Fiqh Karya Abdul Wahab Khalaf Juz 1 Hal 93-94
[3] Faidhul Qadir Juz 2 Hal. 540
[4] Umar bin Ahmad Baraja, Al-Akhlak Lil Banin, (Surabaya, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan Wa Auladuhu, Juz 4, 1385 H.) Hlm. 7-13.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADITS PERTAMA MELURUSKAN NIAT

Hadits Kesembilan Mengusahakan Sesuatu dengan Jalan Maksiat

HADITS KE DUA Arwah adalah Bala Tentara