HADITS 1, 11

Pada hari Kamis-Jumat TGL 14-15 November 2019, Syeikh Amin Assyinqithi melangsungkan silaturrohim ke pondok Nurul Haromain


Beliau adalah As-syaikh As-sayyid Muhammad Amin As-sinqhity, beliau berasal dari kota sinqith mauritania yang terkenal dengan hafalannya yang kuat. Umur 7 thn beliau telah hafal Al-Qur'an 30 juz dan saat sebelum baligh beliau telah menghafalkan 15 ribu bait dari beberapa nadzom. Beliau pernah mengajar di Tarim, Al-ahqoff, dan saat ini beliau menjadi pengajar di ma'had Rusaifah asuhan Sayyid Ahmad bin Muhammad Al-maliky Al-hasany. 


Dalam kesempatan dauroh ilmiyyah kali ini beliau membacakan kitab Jalaul Afkar min Kalami sayyidil Basyar, kumpulan 42 hadits pihilhan yang dikumpulkan oleh Abina KH. M. Ihya Ulumiddin.


Jumat pagi setelah shalat subuh berjamaah, beliau memulai jalsahnya, beliau memilihkan beberapa hadits saja untuk disampaikan kepada Hadirin, yakni Hadits 1, 11, 21, 31, 41, dan 42


Dibawah ini akan kami tuliskan penjelasan yang beliau sampaikan


Hadits ke 1 

Meluruskan Niat


عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  :

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ  إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ. وَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ  


Dari Umar bin Khatthab . Ia berkata: Rasulullah  bersabda :

Sesungguhnya amal hanyalah dengan niat. Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya. Barang siapa berhijrah kerena dunia yang akan didapatkannya. atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya adalah kepada tujuan hijrahnya


Penjelasan

Hadits ini adalah hadits yang sangat agung, menjadi muara seluruh ajaran Islam, dan hadits ini membawa 50% ajaran Agama. 

Dalam Gramatika Arab, Kataإنما  adalah kalimat Hashr (Kata peringkas) yakni, tidak ada amalan yang diterima Allah kecuali dengan niat. Amal tidak adalah menghasilkan pahala kecuali jika pelakunya meniatkannya sebagai bentuk pembenaran Kepada Allah taala.

Amal shalih terbagi menjadi dua : (1) Amal yang butuh niat, dan (2) amal yang tidak butuh niat.  Amal yang butuh niat, pelakunya dianggap seperti tidak melakukannya jika tidak disertai niat. Shalat Subuh misalkan, atau puasa Ramadhan tanpa niat, Zakat tanpa niat dan Haji tanpa niat. Karena setiap amal yang disyaratkan dengan niat, ketika dilakukan tanpa niat maka diaggap tidak melakukannya.  

Ada juga amalan yang tidak disyaratkan dengan niat namun sangat dianjurkan, ketika tidak meniatkannya, ia terbebas dari tanggungan, namun tidak mendapatkan pahala, karena tatkala melakukannya itu, ia tidak menghadirkan kesengajaan melakukannya karena Allah taala.  Contohnya adalah seperti membayar hutang. Hutang ini wajib di bayar, jika ia membayar, maka tanggungannya bebas, namun ia tidak mendapatkan pahala. Saat memberi nafkah kepada orang yang wajib ditanggungya, seperti istri dan anak, ia terbebas dari tanggungannya dan bebas dari dosa, namun ia tetap tidak mendapatkan pahala dari yang ia kerjakan kecuali jika ia menghadirkan kesengajaan (niat) bahwa ia melakukannya karena Allah taala. 

Orang yang meninggalkan perbuatan haram dan makruh, tidak mendapatkan dosa karena tidak melakukannya, namun tidak juga mendapatkan pahala kecuali jika ia meniatkan saat meninggalkan itu ia melakukannya karena Allah taala. 

Orang yang meninggalkan minum Khomr (karena ia sendiri asing dengan benda itu, atau karena ditempatnya tidak ada yang jual,  atau bisa jadi karena dirinya tidak menyukai khomr), ia terbebas dari dosa namun tidak mendapatkan pahala selama ketika meninggalkan, ia tidak menghadirkan niat bahwa ia meninggalkan karena Allah taala. Mengobati penyakit yang sedang menimpa dirinya adalah perbuatan wajib, namun apakah dia mendapatkan pahala? Tidak dapat, kecuali jika ia menghadirkan niat. 

Dengan demikian, yang didapatkan oleh pelaku adalah sesuai dengan yang diniatkannya. Yang dianggap adalah yang diniatkannya. Sampai para ulama mengatakan, jika ada perbedaan antara niat dengan yang diucapkan, maka  yang dihitung adalah yang diniatkannya. Misalkan ketika seseorang ingin melakukan shalat Dhuhur, namun lisannya mengucapkan shalat Ashr, shalatnya sah. Jika lisannya mengucapkan saya shalat Dhuhur namun namun hatinya niat shalat Ashr, maka shalatnya batal.

Satu amalan bisa jadi mendapatkan pahala lebih dari satu karena niatnya. Karena ketika niatnya banyak, seakan dia mengerjakan amal yang banyak. Oleh karena, itu para ulama banyak yang memeberi perhatian khusus tentang niat, bahkan ada yang membuat satu karya tersendiri khusus membahas niat. 

Niat adalah intisari amal, seperti jika ada tembaga lalu dikasih intisari emas, maka tembaga itu menjadi emas. Amal mubah yang tidak berpahala, dengan niat taat akan terhitung amal taat dan mendapatkan pahala. Makan contohnya, secara asal hukum, selama makannyaa halal, maka perbuatan makan adalah perkara mubah, namun ketika kamu meniatkannya agar menjadi kuat melakukan ibadah, agar bugar dalam menjalakan perkara yang diperintahkan, agar kuat mejalankan taat kepada Allah, kuat mencari ilmu, dan lain lain, maka perbuatan mubah itu terhitung perbuatan taat. Dalam hal ini , kebanyakan ulama Akhlaq hebat dalam membuat niat, seperti Imam Ghazali. 

Tidur, minum, atau bahkan amalan yang sebenarnya itu untuk pemenuhan syahwat, namun dengan niat yang baik bisa berubah menjadi amal baik, seperti yang tertera dalam hadits (وفي بضع أحدكم صدقة) “pada kemaluan kalian terdapat pahala sedekah”. Sampai ada yang bertanya, apakah ketika kami memenuhi syahwat, kami mendapatkan pahala? Iya, karena bagaimana jika kamu memenuhi syahwatmu pada bukan tempatnya? Interaksi suami istri yang memang ini adalah hal yang disukai, jika ia meniatkannya untuk menjaga diri, memberikan hak istri, menjaga diri dari syahwat yang terlarang, atau niat yang semisal, maka ia tetap mendapatkan pahala. 

Niat bisa membedakan hukum dari kegiatan yang sama. Satu amalan bisa menjadi kufur bisa menjadi taat, padahal kegiatannya sama persis. Misalkan meletakkan kening di tanah (sujud), satuya terhitung kufur dan satunya terhitung taat. Dalam hadits disebutkan bahwa kondisi terdekat antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat sujud. Allah tahu, apakah kamu bersujud itu karena Allah atau karena selain Allah. 

Tidak ada balasan yang menguntunganmu kecuali yang kamu niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, Hijrahnya akan dicatat untuk karena Allah dan Rasulnya. Disini syarat dan jaza’nya saling berkaitan. Hal ini jelas semakin menunjukkan bahwa yang ia dapatkan adalah yang ia niatkan. 

Hijrah pada masa awal Islam sudah maklum hukumya wajib, namun ini sudah berakhir (لا هجرة بعد الفتح ). Selain itu masih ada hijrah lain yang dianjurkan di setiap saat yakni (1) hijrah dari negara / tempat kufur menuju tempat Iman (2) Hijrah dari Negara/ tempat yang tidak memungkinkan untuk menjalankan syariat menuju tempat yang memungkinkan. (3) Hijrah dari Negara bodoh menuju negara Ilmu (4) Hijrah Dari Negara hina menuju negara yang mulia.  

Setiap hijrah yang dilakukan berlandaskan selain hijrah, maka yang ia dapatkan adalah sesuai niat kepergiannya. Sebagaimana yang didapatkan seorang pemuda yang berhijrah demi Umi Qais, bukan Allah dan Rasulnya. Karena saat itu ia sedang melamar Umu Qais, namun ia mensyaratkan calonnya untuk ikut berhijrah ke Madinah. Ia pun melakukannya.  Maka dia disebut muhajir Ummi Qais. Hijrah yang dikarjakanya tidak sebandng dengan keutamaan hijrah pertama, Hijrah ke Ethiopia. 


Hadits Ke 11

Pendidikan Praktek

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  :

 النَّاسُ كَإِبِلِ مِائَةٍ لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً  


Dari Abdullah bin Umar . Ia berkata: Rasulullah  bersabda:

Manusia itu seperti seratus kumpulan seratus kelompok unta (sepuluh ribu unta), yang hampir kamu tidak mendapatkan di antaranya satu unta yang bisa dijadikan kendaraan


Penjelasan

Pertama, dari sisi gramatika Arab, penyebutan kata الحديث الحاديَ عشر (dengan fathah huruf Ya pada kalimat Hadiya) adalah salah, karena yang benar terkait hukum adad murakkab / hitungan gabungan (11-19), bagian pertama hukumnya mabni fathah, الثالثَ عشرَ، الرابعَ عشرَ، التاسعَ عشرَ namun hal ini berlaku jika bagian pertama tersebut bukan manqus (diakhiri dengan Ya’), jika manqus, maka wajib sukun, الحايْ عشرَ، الثانيْ عشر.

Tentu kalian sudah paham semua dalam kaidah Ilm Nahwu, bahwa isim Manqus (kalimat yang diakhiri dengan Ya’) saat nasab tanda nasabnya tampak, saat rafa’ dan jar di kira-kirakan saja. Contohnya : جاء القاضيْ، مررت بالقاضيْ، رأيت القاضيَ, kaidah ini berlaku dengan syarat isim manqus tersebut bukanlah bagaian pertama dari tarkib adadi (hitungan belasan), jika ia adalah bagiannya, maka tanda nasabnya pun tetap dikira-kirakan. Jika ingin mencontohkan, رأيت الحاديْ عشر،  bukan رأيت الحاديَ عشرَ, atau bisa memilih dengan mengucapkan رأيت الحاديَ saja atau رأيت الثانيَ. Kaidah kita mengatakan 

أيُّ منقوصٍ عليه النصبُ لم يظهرِ

Ini berlaku apabila isim manqus tadi manjadi bagian pertama dari kalimat murakkab, baik murakkab adadi (hitungan) atau selain adadi, seperti contoh رأيت معديْ كربَ bukan معديَ كربَ. 

Contoh lagi جئت قليْ قِلا bukan قليَ قلا. 

Hadits ini memberikan pengertian bahwa manusia itu sedikit sekali yang sempurna, baik dalam akhlak, agama, siap menanggung kesulitan dan selalu berhias dengan akhlak mulia. Yang sempurna dalam berbagai hal sangat sedikit, gambarannya jika kamu melihat 1000 unta belum tentu kamu mendapatkan 1 diantara mereka yang menjadi unta Rahilah. Unta Rahilah adalah unta pilihan yang sangat layak menjadi tunggangan, susunya paling baik, posturnya paling indah, dan lain sebagainya. 1 Rahilah belum tentu kamu temukan diantara 1000 unta, sebagaimana juga manusia. Dalam Al quran disebutkan وقليل من عبادي الشكور hambaku yang pandai bersyukur sangatlah sedikit. 

Hadits ini menganjurkan kepada umat manusia untuk berusaha mengupgrade diri sehingga menjadi bagian dari orang-orang yang minoritas. 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini hanya berlaku untuk generasi setelah generasi awal (sahabat) yang sangat bersih. Karena mereka adalah generasi terbaik yang diliputi dengan segala keutamaan. Tidak engkau jumpai dalam setiap 1000 unta kecuali kamu akan mendapati banyak Rohilah. Namun setelah mereka, generasi Rahilah menjadi sangat sedikit, hampir rasionya 1000:1.    

(Bersambung in sya Allah)

والله يتولى الجميع برعايته

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADITS PERTAMA MELURUSKAN NIAT

Hadits Kesembilan Mengusahakan Sesuatu dengan Jalan Maksiat

HADITS KE DUA Arwah adalah Bala Tentara