HADITS KE 25 KEUTAMAAN NGAJI DAN MASUK CIRCLENYA

HADITS KE 25

KEUTAMAAN NGAJI DAN MASUK CIRCLENYA


Di antara pesan-pesan agung Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ tentang pentingnya ilmu adalah sabda beliau berikut ini:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْأَنْمَاطِيُّ قَالَ: نَا عُبَيْدُ بْنُ جَنَّادٍ الْحَلَبِيُّ قَالَ: نَا عَطَاءُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَفَّافُ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: «اغْدُ عَالِمًا، أَوْ مُتَعَلِّمًا، أَوْ مُسْتَمِعًا، أَوْ مُحِبًّا، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ فَتَهْلِكَ» رواه الطبراني في المعجم الكبير ٥١٧١

Artinya

"Jadilah engkau seorang alim (yang mengajarkan ilmu), atau penuntut ilmu, atau pendengar ilmu, atau pecinta (ilmu dan ahlinya). Jangan jadi yang kelima, maka engkau akan binasa." (HR al-Thabarani dalam al-Muʿjam al-Kabir, no. 5171.)

Sanad: Rasulullah ﷺ → Abu Bakrah → putranya ʿAbd al-Raḥman → Khalid al-Hadhdhaʾ → ʿAthaʾ bin Muslim al-Khuffaf → ʿUbayd bin Junad al-Halabi → Muhammad bin al-Husayn al-Anmathi → al-Thabarani

Status: Secara sanad, hadits ini dinilai lemah oleh sejumlah ahli hadits karena adanya perawi yang diperselisihkan, yaitu ‘Atha' bin Muslim al-Khaffaf. Namun, kandungan maknanya diperkuat oleh berbagai ayat Al-Qur'an dan hadits lain yang sahih. Oleh sebab itu, para ulama menyatakan bahwa hadits ini bisa diamalkan dalam konteks fadhā'il al-a‘māl (keutamaan amal), dan bahkan menjadi prinsip dasar dalam adab terhadap ilmu.

Empat Golongan yang Selamat

Kanjeng Nabi ﷺ membagi manusia dalam urusan ilmu menjadi empat golongan yang "masuk circle" ilmu:

Alim (Ulama)

Menjadi ulama, yakni orang yang mengawal agama dan mengajarkan ilmu syar‘i, adalah derajat tertinggi dalam Islam. Allah berfirman:


قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُون ۗ

“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9) 

Allah juga menyatakan bahwa hanya ulama yang benar-benar takut kepada-Nya (khosyah):

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (QS. Fathir: 28)

Dalam ilmu balaghah, kata innamā menunjukkan pembatasan, yaitu hanya para ulama yang memiliki rasa takut sejati kepada Allah. 

Ulama adalah pewaris para nabi. Rasulullah ﷺ bersabda:

العلماءُ خُلفاءُ الأنبياءِ، إنَّ الأنبياءَ لَم يورِّثوا دينارًا ولا درهَمًا، إنَّما ورَّثوا العِلمَ

"Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. (HR. Al Bazzar 4145)

Dalam sejarah Islam, ulama bukan sekadar pengajar, tetapi penjaga wahyu, pembimbing umat, serta pengawal ruhiyah dan hukum syariat. Mereka mencurahkan hidupnya untuk menjaga kemurnian wahyu — baik Al-Qur'an maupun Sunnah — serta menjabarkan dan mengamalkannya dalam kehidupan masyarakat. Abuya Muhammad menyebutkan dengan “al mahabbah warri’ayah” Ulama itu mencitai dan ngeramut umat. 

Kontribusi ulama sangat luas, diantaranya:  Menyusun kitab tafsir, syarah hadits, dan fiqih. Membimbing umat, memberikan fatwa dan menjadi solusi saat umat mengalami kebingungan. Menjadi penengah di tengah konflik dan senantiasa menjaga persatuan umat. Serta mewariskan tradisi ilmu Islam yang terus hidup hingga hari ini. Termasuk lahirnya tulisan ini.

Tanpa ulama, umat akan tersesat dan kehilangan arah. Allah berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad) kecuali laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Nahl: 43)

Oleh karena itu, mencintai ulama dan berada dalam lingkaran keilmuan adalah bentuk kecintaan pada agama itu sendiri.

Muta‘allim (Penuntut Ilmu)

Proses untuk menjadi ulama adalah dengan menuntut ilmu, alias menjadi santri atau pelajar. ini sangat penting sekali. Jika tidak ada para santri, maka tidak ada ulama, jika tidak ada para ulama, tentu agama menjadi tidak terkawal, setelah itu kita tahu sendiri bagaimana kelanjutannya. Sebab itu, menjadi santri adalah proses yang sangat penting dan Allah sendiri sangat memuliakan posisi itu. Banyak hadits bertebaran di kitab dan media sosial yang menunjukkan pentingnya menjadi santri. 

Abuya sendiri pernah dawuh kepada santri awalnya, yakni Abi KH. M. Ihya Ulumiddin; “maa zilta tholiban” sampai kapanpun kamu adalah santri. yang artinya proses menuntut ilmu agama itu tidak pernah selesai, bahkan meskipun sudah banyak menyebutnya sebagai ulama’.

Rasulullah ﷺ berwasiat untuk menyambut suatu kaum yang datang berbondong untuk mencari ilmu

عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال: سيأتيكم أقوام يطلبون العلم، فإذا رأيتموهم فقولوا لهم: مرحبا مرحبا بوصية رسول الله صلى الله عليه وسلم، واقنوهم. قلت للحكم: ما اقنوهم قال: علموهم.

"Dari Rasulullah ﷺ , beliau bersabda: 'Akan datang kepada kalian kaum-kaum yang mencari ilmu. Maka jika kalian melihat mereka, katakanlah kepada mereka: 'Selamat datang, selamat datang' sebagai wasiat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan 'aqnûhum'. Aku bertanya kepada Al-Hakam: 'Apa maksud dari 'aqnûhum'?' Dia menjawab: 'Ajari mereka'." (HR. Ibnu Majah 6008)

Mustami‘ (Pendengar Ilmu)

Jika tidak mampu menjadi santri yang mondok, maka tetaplah menjadi pendengar yang setia. Ngaji bisa dilakukan tanpa harus tinggal di pesantren. Dalam sebuah pengajian "Ngaji Khatam" di Pujon pada bulan Rajab, KH. Idror Maimun menyampaikan bahwa Mbah Mun (ayah beliau) mengatakan:

"Ono ngaji lan ono pengajian."

Beliau menjelaskan, ngaji itu ada kitab, buku, bolpen, wirid, shalat jamaah, hafalan dan wiridan. Sedangkan pengajian cukup dengan ngerungokno alias mendengarkan. Maka output dari ngaji adalah lahirnya ulama, sedangkan pengajian melahirkan orang-orang yang baik, shaleh (dadi wong apik). Ini menunjukkan bahwa mendengarkan ilmu juga termasuk jalan kebaikan. 

Islam sangat menganjurkan mencari ilmu walaupun hanya dengan mendengar. Hal ini tampak dari konsep khutbah Jumat yang menjadi rukun. Laki-laki yang sibuk mencari nafkah tetap diwajibkan hadir dan mendengarkan khutbah minimal seminggu sekali. Dari mendengar itu, ia bisa menjadi pembimbing keluarganya, tahu batas halal-haram, dan meniti hidup yang berkah.



Allah juga memuji golongan pendengar ilmu:

الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ

(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat) (QS. Az-Zumar: 18)

Muhibb (Pecinta Ilmu dan Ulama)

Jika tidak bisa menjadi mustami‘, maka minimal jadilah orang yang mencintai mereka (muḥibbīn). Mencintai orang berilmu akan membawa seseorang ke dalam golongan mereka. Nabi ﷺ bersabda ketika menjawab pertanyaan seorang Arab Badui yang bertanya tentang kiamat, lalu beliau bertanya balik, “Apa yang telah kamu persiapkan?” Badui itu menjawab, “Aku mencintai engkau, ya Rasulullah,” maka beliau bersabda:

"يُحْشَرُ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ" 

"Seseorang akan dikumpulkan bersama dengan orang yang ia cintai." (HR. Bukhari dan Muslim)


Orang yang mencintai berarti siap mendukung dan membantu dengan segala yang dimilikinya. Kecintaan itu menunjukkan keterikatan hati, komitmen, dan kesiapan berkontribusi. 

Dalam hadits lain Nabi bersabda:

مَن جَهَّزَ غازِيًا في سَبيلِ اللَّهِ فقَدْ غَزا

"Barangsiapa yang mempersiapkan (peralatan) untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap telah ikut berperang." (HR. Bukhari 2843)


Bahkan dalam hadits lain, disebutkan:

إذا مات الإنسانُ انقطع عملُه إلا من ثلاثٍ؛ صدقةٍ جاريةٍ، أو علمٍ يُنتَفَعُ به، أو ولدٍ صالحٍ يدْعو له

"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya." (HR. Muslim 1631)


Menariknya, dalam hadits ini sedekah jariah disebut lebih dulu sebelum ilmu, menunjukkan bahwa kontribusi berupa dukungan material dan cinta terhadap ilmu juga bernilai tinggi di sisi Allah.

Kelompok yang Binasa

Adapun golongan kelima adalah mereka yang membenci ilmu dan ahlinya. Inilah kelompok yang diancam kebinasaan.

Imam al-Mawardi menyatakan:  "Siapa yang menganggap ilmu itu aib dan kebodohan itu kemuliaan, maka ia telah menempuh jalan kesesatan yang dalam."

Mereka tidak mendapat bagian dari cahaya ilmu, bahkan menjauh dan merendahkannya. Ini sangat berbahaya dalam kehidupan dunia dan akhirat.  Maka, jika tidak bisa berbuat banyak dalam mendukung ilmu, maka jangan pernah hancurkan dirimu dengan menjegal ilmu. 

Penutup

Hadits ini mengajarkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak terhubung dengan ilmu agama. Jika tidak bisa menjadi guru, jadilah murid. Jika tidak mampu belajar, dengarkan. Jika belum mampu mendengar, cintailah. Tapi jangan sekali-kali membenci ilmu dan ulama, karena itu jalan kebinasaan.

Masuklah ke circle ilmu — majelis ilmu, pengajian, halaqah, atau komunitas pencari kebenaran — karena di sanalah ada cahaya hidup.

Semoga Allah menjadikan kita semua bagian dari golongan yang mencintai dan terhubung dengan ilmu hingga akhir hayat. Aamin.

والله يتولى الجميع برعايته



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadits Kedua Puluh Tujuh : Doa, Senjata Orang Beriman

[5] Bersaudara Karena Allah

HADITS PERTAMA MELURUSKAN NIAT