HADITS KESEPULUH: TOPENG
HADITS KESEPULUHTOPENG
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ جَارَةً –
تَعْنِي ضَرَّةً – هَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ لَهَا بِمَا لَمْ يُعْطِ
زَوْجِيْ؟ قَالَ: )الْمُتَشَبِّعُ
بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ ([1]
(Orang yang merasa kenyang dengan apa yang tidak dimilikinya adalah seperti
orang yang memakai dua baju kebohongan). HR.
Abu Daud
Makna global
1.
Pada
hadits di atas, Syidah Asma’ Ra. Mengisahkan ada seorang perempuan bertanya
kepada Nabi ﷺ
perihal barang yang ditampakkannya di depan madunya agar terkesan bahwa
suaminya memberikan sesuatu, padahal yang sebenarnya tidak. Umumnya perempuan
melakukan itu agar bisa pamer dihadapan madunya, dan tampak istimewa dibanding
istri lainnya sehingga menimbulkan iri. Lalu Rasulullah ﷺ
menjawab bawha orang yang melakukan itu sama dengan orang yang memakai dua baju
kebohongan.
2.
Ibnu
Tin mengatakan, maksud hadits di atas adalah Rasulullah ﷺ
ingin mengingatkan kepada perempuan tadi akan bahaya yang timbul akibatberpura-puranya,
yakni akan timbul kerusakan dan memunculkan kebencian di antara suami dan
madunya, akhirnya menjadi seperti sihir yang memisahkan istri dan suaminya.
3.
Al
Qurtubhi berkata, Perbuatan seorang perempuan merasa mendapat perhatian lebih
dari suaminya dihadapan para madunya dianggap berdosa adalah karena ia
melakukan tindakan menyerupai tindakan haram.
4.
Lalu
Rasulullah menggambarkan yang lakukan perempuan tadi dengan dua baju
kebohongan, Apa maksud dua baju kebohongan dan mengapa harus dua?
Dua Baju Kebohongan
Banyak sekali keterangan tentang maksud dua baju kebohongan. Mengapa harus
baju dan mengapa jumlahnya ada dua. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Baju
adalah identitas, maksudnya ia membohongi orang lain dengan mengenakan suatu
identitas, padahal ia bukan seorang ahlinya.
2.
Kata
dua baju yang dimaksud adalah sorban dan sarung[2], sebagai
perumpamaan dua pakaian yang mengindikasikan identitas tertentu. Artinya berbohong
lewat identitas adalah perkara yang sangat fatal.
3.
Imam
Nawawi berkata, “Para Ulama mengatakan, maknanya adalah : Orang yang
berpura-pura dengan sesuatu yang bukan miliknya, lalu ia hiasi dengan kebatilan
untuk menutupi agar orang percaya terhadap yang diklaimnya. Ini adalah
perbuatan yang sangat tercela sebagaimana orang yang memakai dua baju
kepalsuan.
4.
Sebagian
lagi berkata, bahwa baju kepalsuan maksudnya adalah orang yang mengenakan
pakaian has ahli Zuhud, Ahli Ibadah dan wara’, ia tampakkan hal itu di hadapan
manusia agar ia dianggap sebagai ahlinya, ia berpura2 khusyu’ melebihi khusyu’ yang
ada di hatinya. Inilah dua baju kepalsuan tersebut, baju zuhud dan riya’.
5.
Orang
yang memakai dua baju orang lain, namun dia bertindak sesuatu sehingga orang
menyangka bahwa baju itu miliknya
6.
Orang
yang memakai satu baju saja, namun ujung tagannya dilapisi sehingga yang
terlihat oleh orang lain adalah dia mengenakan dua baju
7.
Imam
Al Khotobi mengisahkan, bahwa yang dimaksud baju dalam hadits ini adalah keadaan
dan madzhab. Kebiasaan orang arab mengiaskan baju dengan kondisi penggunanya,
artinya yang melakukan itu sebenarnya adalah seorang pendusta yang bertindak
tidak sesuai dengan yang diyakininya. Sebagaimana orang yang bohong dengan
ucapannya.
8.
Seseorang
yang sedang diminta untuk menjadi seorang saksi palsu, lalu dia mengenakan dua
pakaian untuk mengecoh orang agar percaya terhadap kesaksiannya.[3]
9.
Baju
pada hadits di atas adalah perumpamaan atas diri pribadi, misal ada orang yang
dirinya bersih dari dosa, maka diucapkan kepadanya, bajunya bersih. Juga
sebaliknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khottobi.
10. Ada juga yang mengatikan dua baju di sini
adalah siapapun yang memakai baju kebesaran Ahli Zuhud namun hatinya penuh
dengan kebatilan. Keduanya itu adalah tercela, baik pakaiannya maupun kondisi
hatinya.
11. Ada juga yang mengartikan, ia adalah seorang
saksi palsu. Nuaim Bin Hammad berkata, “di suatu perkampungan, ada seorang
laki-laki yang berwibawa dan punya pengaruh, jika ia diminta untuk memberikan
kesaksian palsu, ia segera memakai dua baju khususnya lalu datang dan
memberikan kesaksian. Kesaksiannya diterima sebab wibawa dan indanya baju yang
dikenakannya.
12. Jumlah dua baju di atas, adalah isyarat
sebenarnya orang yang berpura-pura, ia telah melakukan dua kebohongan, yaitu
berbohong kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain. Begitu juga saksi
palsu, dia melakukan kedhaliman dua kali lipat, dia mendhalimi sendiri dan
mendhalimi orang yang disaksikan.
Dari bebrapa arti tentang baju dan jumlahnya seperti yang tertera di atas, kita
tahu bahwa semua mengarah kepada makna yang sama, yaitu bahwa membohongi orang
lain dengan identitas, tindakan ataupun yang lain, adalah perbuatan yang tidak
baik, dan bisa menimbulkan perkara yang sangat fatal.
1.
Maka
Seorang jahil tidak boleh mengenakan identitas orang alim, karena segala
perilakunya akan menjadi rujukan dan mengakibatkan hukum Islam menjadi rancu,
orang awam melihat seseorang dari penampilan, sehingga lalu mengikutinya dan
menganggap yang dilakukannya adalah ajaran Islam. Ini sagat fatal, terlebih
pada era saat ini, zaman medsos yang setiap orang diberikan kebebasan untuk
berpenampilan dengan atas nama hak asasi.
Shahib Kitab Al Mathamih mengatakan,
inilah salah satu keindahan teori penyerupaan, bahwa berpura-pura adalah
tindakan haram, maka berangkat dari sini haram pula orang yang belum layak
ngajar namun ngotot menjadi guru, dan menyebutkan hukum-hukum yang ia sendiri
tidak memahaminya. Hal ini haram karena dianggap menjadikan agama sebagai bahan
maainan[4]. Imam Syibli
juga berkata, “orang yang ngotot tampil sebelum waktunya, maka sebenarnya ia
sedang caper atas hawa nafsunya”
2.
Sebaiknya
orang alim mendeklarasikan bahwa dirinya seorang alim, sehingga dengan demikian
orang awam akan tahu kemana harus mencari fatwa dan nasihat. Sikap KePDan dalam menjaga agama sangat diperlukan agar citra islam teap
terjaga. Jika Dokter dengan Pdnya mengatakan saya seorang Dokter, seorang
Professor dengan Pdnya mengatakan saya adalah professor, maka santri-santri
yang sudah cukup ilmunya juga harus berani tampil PD bahwa saya seorang alim,
sehingga kajian-kajian di masyarakat tidak didominasi oleh orang-orang yang
hanya berpura-pura menjadi ulama.
3.
Dalam
Syarh Riyadlus Shalihin, Imam Nawawi mengambil pelajaran dari Hadits ini tentang
pentingnya memiliki sifat qanaah, yakni menerima pemberian Allah, beliau
berkata ”Maka bersikaplah qanaah, terimalah apa adanya, jika kamu fakir, maka
cukup bertindak sesuai kapasitasmu, dan jika kamu kaya, maka cukup bertindak
sesuai kapasitanmu juga.
4.
Sebagian
orang mengambil cara berpura-pura menjadi seorang miskin, faqir, atau berpura-pura menyandang
disabilitas untuk mengambil empati dan belas kasih masyarakat luas. Cara instan
ini tampaknya bagi sebagian orang cukup efektif digunakan mengemis. Sebagian orang ini menggunakan cara berpura-pura untuk mengambil keuntungan
dari rasa iba masyarakat. Adapun dampak negatifnya, masyarakat menilai
kalangan disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif dan
kreatif serta patut dikasihani. Padahal
mereka memiliki potensi luar biasa dan bisa mandiri secara ekonomi. Tindakan berpura-pura miskin, faqir, atau berpura-pura sebagai
penyandang disabilitas untuk kepentingan ini sangatlah
diharamkan. Pelakunya wajib mengembalikan pemberian yang diterimanya kepada si
pemberi karena ia tidak berhak menerimanya.
Syaikh Ibnu Hajar Al haitami dalam Kitab Tuhfatul Muhatajnya[5] menghukumi tindakan berpura-pura adalah tindakan haram, kata beliau
وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ،
أَوْ صَلَاحٍ، أَوْ نَسَبٍ بِأَنْ تَوَفَّرَتْ الْقَرَائِنُ أَنَّهُ إنَّمَا
أُعْطِيَ بِهَذَا الْقَصْدِ، أَوْ صَرَّحَ لَهُ الْمُعْطِي بِذَلِكَ، وَهُوَ
بَاطِنًا بِخِلَافِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا، وَمِثْلُهُ مَا لَوْ
كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنًا لَوْ اطَّلَعَ عَلَيْهِ الْمُعْطِي لَمْ يُعْطِهِ،
وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي الْهَدِيَّةِ أَيْضًا عَلَى الْأَوْجَهِ، وَمِثْلُهَا
سَائِرُ عُقُودِ التَّبَرُّعِ فِيمَا يَظْهَرُ كَهِبَةٍ وَوَصِيَّةٍ وَوَقْفٍ
وَنَذْرٍ
Artinya, “Siapa yang diberikan sesuatu
karena ada sifat yang disangka ada dalam dirinya semisal kefakiran, kesalehan,
atau nasab yang diketahui dari beberapa tanda bahwa dia diberikan dengan maksud
demikian atau si pemberi menjelaskan motifnya sendiri, sedangkan sesungguhnya
tidak demikian, maka ia haram secara mutlak untuk menerima pemberian tersebut. Demikian juga bila
ada sifat yang disembunyikan dalam diri si penerima yang andaikan tampak pada
orang yang memberi, maka dia tidak akan memberinya. Hal ini berlaku juga dalam
konteks hadiah menurut pendapat yang lebih kuat. Hukum yang sama juga berlaku
pada semua akad tabarru‘ (bantuan sosial) yaitu hibah, wasiat, waqaf, dan
nazar,” Maka berhati-hatilah menggunakan topeng
والله يتولى الجميع برعايته
Komentar
Posting Komentar